Senin, 29 April 2013

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI (MAKALAH)


BAB I
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, setiap makhluk akan berubah. Sama halnya dengan kondisi manusia sebagai lakon utama dalam kehidupan ini. Manusia sebagai pelaku komunikasi terbesar di dunia ini.
Berbicara manusia dan kehidupan sosial yang di dalamnya terjadi proses komunikasi, maka seiring perubahan alam, komunikasi pun akan berubah. Berubah sesuai perkembangan zaman atau lebih popular dengan istilah ke-kontemporer-an.
Perubahan-perubahan akan menuntut kita untuk mempelajari lebih intens mengenai perubahan itu sendiri. Hal tersebut dilakukan adalah agar kita lebih memahami mengenai hidup ini. Sama halnya dengan perubahan yng terjadi dalam komunikasi.
Sebagai insane komunikasi, penting kiranya kita mempelajari mengenai fenomena yang terjadi proses perubahan komunikasi dari dulu hingga saat ini. Tujuannya adalah agar terwujudnya komunikasi efektif. Maka dari itu komunikasi antar pribadi sangat penting untuk dibahas dalam makalah yang kami susun karena dengan terciptanya komunikasi antar pribadi maka akan terciptanya hubungan yang akrab antara komunikator dengan komunikan sehingga tujuan yang ingin dicapai bersama akan terwujud.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari komunikasi antar pribadi?
2.      Apakah ciri-ciri dari komunikasi antar pribadi yang efektif?
3.      Apakah peranan komunikasi antar pribadi?
4.      Bagaimanakah sifat-sifat dari komunikasi antar pribadi?
5.      Apakah keampuhan dari komunikasi antar pribadi?
6.      Apakah fungsi dari komunikasi antar pribadi?
7.      Bagaimanakah hubungan konsep diri dalam komunikasi antar pribadi?
8.      Bagaimanakah hubungan antar pribadi tersebut?
9.      Bagaimanakah komunikasi antar pribadi yang efektif tersebut?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian komunikasi antar pribadi.
2.      Untuk mengetahui ciri-ciri dari komunikasi antar pribadi yang efektif.
3.      Untuk mengetahui peranan komunikasi antar pribadi.
4.      Untuk mengetahui sifat-sifat dari komunikasi antar pribadi.
5.      Untuk mengetahui keampuhan dari komunikasi antar pribadi.
6.      Untuk mengetahui fungsi dari komunikasi antar pribadi.
7.      Untuk mengetahui hubungan konsep diri dalam komunikasi antar pribadi.
8.      Untuk mengetahui terjadinya hubungan antar pribadi tersebut.
9.      Untuk mengetahui terjadinya komunikasi antar pribadi yang efektif tersebut.
1.4  Manfaat Penulisan
1.      Memberikan suatu pemahaman yang mendalam terkait dengan komunikasi antar pribadi.
2.      Memberi masukan bagi mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah komunikasi antar pribadi.
3.      Sebagai acuan dalam penyusunan makalah selnajutnya

BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Komunikasi Antar Pribadi
            Jurgen Ruesch dan Gregory Beteson ( dalam Lawrence dan Salman, 1997:49) mengatakan demikian “komunikasi antar pribadi ditandai oleh adanya tindakan pengungkapan oleh seseorang pengamatan secara sadar ataupun tidak terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak lain, dan kemudian melakukan kembali bahwa tindakan yang pertama sudah diamatai oleh pihak lain. Kesadaran akan pengamatan merupakan kejadian yang mengisyaratkan terciptanya jalinan antar-pribadi.
            Berdasarkan pendapat di atas, maka komunikasi antar pribadi sesungguhnya baru akan tercipta kalau terdapat kesadaran dari dua pihak untuk mengamati keadaan masing-masing pihak dan memberikan respon atas keadaan tersebut sebagaimana sifat komunikasi, maka hubungan yang terjadi ditandai dengan adanya sikap saling memperhatikan, saling memahami, penuh pengertian dan keakraban. Pemahaman yang dimaksud tidak hanya terjadi pada materi komunikasi, tetapi juga pada pemahaman terhadap keunikan pribadi masing-masing. Kesadaran akan perbedaan-perbedaan inilah yang memungkinkan komunikasi itu menjadi tumbuh dan berkembang. Komunikasi seperti ini akan berbeda dengan suasana komunikasi yang dilakukan dalam situasi lain, misalnya komunikasi antara pembayar rekening listrik dengan pelayan di kantor PLN atau komunikasi antar pembeli dengan penjual di pasar. Dua contoh komunikasi ini, tidak mungkin akan tumbuh dan berkembang sebagaimana komunikasi antar pribadi, karena jalinan hubungan untuk menjadi akrab tidak menjadi tekanan utama. Yang menjadi perhatian pada dua contoh komunikasi ini hanyalah pada pemahaman materi komunikasi.
            Berdasarkan uraian di atas, maka komunikasi antar pribadi dapat didefinisikan sebagai proses hubungan yang tercipta, tumbuh dan berkembang antara individu yang satu (sebagai komunikator) dengan individu lain (sebagai komunikan) dengan gayanya sendiri menyampaikan pesan kepada yang lain (komunikan), sedangkan yang satu (komunikan) dengan gayanya sendiri menerima pesan dari sumber (komunikator). Dengan gaya, kedinamisan, kesadaran dan hubungan yang akrab dari masing-masing pihak maka komunikasi itu terus tumbuh dan berkembang hingga dicapai persepsi dan tujuan bersama.
            Selanjutnya, terdapat beberapa definisi komunikasi antarpribadi menurut beberapa ahli lain, diantaranya adalah:
a. Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (Devito, 1989:4), komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback).
b. Menurut Rogers dalam Depari, komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi.
 c. Tan mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih. (Liliweri, 1991: 12) Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh komunikator. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklasifikasikan pada:   
1. Efek kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dipersepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/rasio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikan.
2. Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya.
3. Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, kebiasaan, atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berperilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah).
2.2  Ciri-Ciri Dari Komunikasi Antar Pribadi Yang Efektif

            Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri mengutip pendapat Joseph A.Devito mengenai ciri komunikasi antarpribadi yang efektif, yaitu:
a.       Keterbukaan (openness)
Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi. Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin menarik, tetapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebalikanya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar. Aspek kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan komunikan yang menjemukan. Bila ingin komunikan bereaksi terhadap apa yang komunikator ucapkan, komunikator dapat memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dimana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya.
b.      Empati (empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Berbeda dengan simpati yang artinya adalah merasakan bagi orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal.
c. Dukungan (supportiveness) Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik.
d. Rasa Positif (positiveness) Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
e. Kesetaraan (equality) Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain. (Liliweri, 1991: 13) Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses saling mempengaruhi ini merupakan suatu proses bersifat psikologis dan karenanya juga merupakan permulaan dari ikatan psikologis antarmanusia yang memiliki suatu pribadi.

2.3 Peranan Komunikasi Antar Pribadi
                Johnson menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia, yakni:
1.      Komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain.
2.      Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan orang lain kita dapat menemukan diri, yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
3.      Dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain dan realitas yang sama. Tentu saja pembandingan sosial semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
4.      Kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, terlebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan menderita, merasa sedih, cemas, frustrasi. Bila kemudian kita menarik diri dan menghindar dari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional atau batin, bahkan mungkin juga penderitaan fisik.(Supratiknya, 2003: 9-10)

2.4 Sifat-Sifat Dari Komunikasi Antar Pribadi
                Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antarpribadi. Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu adalah:
1. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal
2. Komunikasi antarpribadi melibatkan pernyataan atau ungkapan yang spontan
3. Komunikasi antarpribadi tidaklah statis melainkan dinamis
4. Komunikasi antarpribadi melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya)
5. Komunikasi antarpribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik
6. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan
7. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya bidang persuasif (Liliweri, 1991:30-31)

2.5 Keampuhan Dari Komunikasi Antar Pribadi
            Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap muka (face-to-face). Oleh karena itu individu (komunikator) dengan individu (komunikan) saling bertatap muka, maka terjadilah kontak pribadi (personal contact); pribadi komunikator menyentuh pribadi komunikan. Ketika komunikator menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika (immediate feedback); komunikator mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan, ekspresi wajah, dan gaya bicara komunikator. Apabila umpan baliknya positif, artinya tanggapan komunikan menyenangkan komunikator, sehingga komunikator mempertahankan gaya komunikasinya; sebaliknya jika tanggapan komunikan negatif, komunikator harus mengubah gaya komunikasinya sampai berhasil. Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan itulah maka bentuk komunikasi antarpribadi acapkali dipergunakan untuk melancarkan komunikasi persuasif (persuasive communication) yakni suatu teknik komunikasi secara psikologis manusiawi yang sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan. (Effendy, 2003:61)
2.6 Fungsi Dari Komunikasi Antar Pribadi          
            Adapun fungsi komunikasi antarpribadi ialah berusaha meningkatkan hubungan insan (human relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain. Melalui komunikasi antarpribadi, individu dapat berusaha membina hubungan yang baik dengan individu lainnya, sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di antara individu-individu tersebut. (Cangara, 2005:56)


2.7 Hubungan Konsep Diri Dalam Komunikasi Antar Pribadi
            Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang dirinya. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: yakin akan kemampuan mengatasi masalah; merasa setara dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubah. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi antarpribadi, yaitu:
a. Perbuatan atau tingkah laku yang dipenuhi sendiri. Karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seseorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari materi kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akademis yang baik.
b. Membuka diri. Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru.
2.8 Hubungan Antar Pribadi
            Seperti yang dijelaskan di atas bahwa, komunikasi antar praibadi lebih menekankan pada hubungan anatar pribadi dari dua pihak yang melakukan komunikasi. Kegagalan komunikasi terjadi, apabila isi pesan yang disampaikan tidak dipahami. Ketidak pahaman ini membuat hubungan anatr komunikator dan komunikan mmenjadi tidak kondusip. Komunikasi antar pribadi yang efektif meliputi banyak unsur seperti, adanya pesan yang jelas, tersedianya media, pemahaman terhadap isyarat dan yang lain. Tetapi diantara unsur-unsur tersebut yang paling menentukan keberhasilan komunikasi antar pribadi adalah “hubungan” tulis Anita taylor et al. (1977:187). Lebih jauh dikatakan, banyak penyebab dan ritangan komunikasi. Rintangan itu bisa berakibat kecil saja apabila terdapat hubungan yang baik antara komunikan dan komunikator. Sebaliknya,pesan yang jelas, tegas dan cermat tidak dapat menghindari kegagalan,jika terjadi hunbungan yang kurang baikantara dua pihak yang berkomunikasi.
            Setiap kali kita melekukan komunikasi,kita bukan hanya sekedar menyampaikan isi pesan,kita juga menentukan kadar hubungan antar pribadi. Jadi bukan hanya menentukan content tetapi juga relationship. Perhatikan kalimat-kalimat dibawah ini. Isinya sama : menanyakan nama anda tetapi kadar hubungan anatar pribadi didalamnya berbeda.
            Sebutkan nama kamu!
            Siapa nama anda?
            Bolehkan saya tahu siapa nama anda?
            Berkenaan kiranya anda menyebutkan nama!

Kalimat yang anda gunakan sekali lagi, bukan hanya sekedar menyampaikan isi, tetapijuga mengandung hubungan antar pribadi.
Pandangan bahwa komunikasi mendefinisikan hubungan antar pribadi yelah dikemukakan  Ruesch dab Bateson pada tahun 1950-an. Gagasn ini dipelopori kalangan komunikasi oleh Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967) dengan buku mereka Pragmatics of Human communication. Mereka melahirkan istilah buku unutuk menunjukan aspek hubungan dari pesan komunikasi dengan nama metakomunikasi. Mereka menulis,” Every communication has a content and a relationship aspect suchthat the letter classifies the former and is therefore metacommunication ”(1967:154). Perlahan – lahan studi komuniksi antar pribadi bergeser dari isi pesan pada aspek relasional. Ada yang menyebutkan fokus ini sebagai paradigma baru dalam penelitian komunikasi. Kini, kaum komunikolog menggeserkan perhatian “from the individual as the unit of analysis to the reletionship as teh unit of analysis” (Parks dan Wilmot,1975:9). Gerarld R. Miller dalam pengantar yang dituliskan untuk buku Explorations in interpersonal communication menyatakan bahwa, memahami proses komuniksi antar pribadi menuntut pemahaman hubungan saling menguntungkan anatara komunikasi dengan pengembangan relasional. Komunikasi mempengaruhi perkembangsn relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan 1 relasiona mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut para psikolog pun mulai menaruh minat yang besar pada hubungan antar pribadi seperti tampak pada tulisan Fordon W. Allport (1960) Erich Fromn (1962), Martin Buber (1957), Carl Rogers (1951). Semua mewakili psikologi humanistik belakangan Arnold P. Goldstein (1975) mengembangkan apa yang disebut sebagai relationship enchancement methods (metoda peningkatan hubungan) dalam psikoterapi yang merumuskan metode ini dengan tiga prinsip: makin baik hubungan antar pribadi (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaanya (2) makin cenderung ia meneliti perasaanya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog) dan (3) makin cenderung ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat yang diberikan penolongnya dari segi psikologi komunikasi kita dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan antar pribadi makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung diantara komunikan
Karena pentingnya hubungan antar pribadi ini kita akan membicarakan beberapa teori tentang hubungan antar pribadi. Teori-teori ini memberikan perspektif untuk memandang proses hubungan antar pribadi dan memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antar pribadi. Selanjutnya kita akan membicarakan tahap-tahap hubungan antar pribadi dan tiga faktor dalam komunikasi antar pribadi yang menumbuhkan hubungan antar pribadi yang baik: percaya (trust), sikap suportif (supportivenes), dan sikap terbuka (open mindedness).
2.9 Komunikasi Antar Pribadi Yang Efektif
            Jalaluddin Rachmat (1986:147) menyatakan bahwa komunikasi antar pribadi yang efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan, bila anda berkumpul dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan dengan anda, anda akan menyenangi mereka. Komunkasi pun berlangsung lebih santai, gembira dan terbuka. Berkumpul dengan orang-orang yang anda benci akan membuat anda tegang, resah dan tidak enak. Anda akkan menutup diri dan menghindari komunikasi. Anda juga ingin segera mengakhiri komunikasi anda. Jika komunikasi antar pribadi akan lebih efektif bila para komunikan saling menyukai. Maka Lott dan Lott (1966) meneliti pengaruh komunikasi antar pribadi dengan prestasi akademis siswa. Penelitian ini menemukan bahwa murid-murid yang belajar bahasa Sppanyol lebih cepat memahami bila bekerja sama dengan orang-orang yang mereka senangi. Demikian juga dengan Nelson dan Meadow (1971) membuktikan dengan eksperimen bahwa pasangan mahasiswa yang mempunyai sikap yang sama membuat prestasi yang baik dalam mengerjakan tugas-tugas mekanis dibandingkan dengan pasangan yang mempunyai sikap yang berlainan. Akhirnya Baron dan Byrne (1978) menyimpulkan, “ ,,, not only are student happier when learning in an atmosphere of friendship, they also learn more!”. Komunikasi yang efektif menurut Deddy Mulyana (2003:107) bahwa komunikasi yang hasilny sesuai dengan harapan para pesertanya atau orang-orang yang sedang terlibat dalam komunikasi. Dalam proses belajar mengajar misalnya, komunikasi dua arah antara guru dan siswa  telah menjadi pemahaman bersama dan dua pihak memberikan respon sebagai  tanda bahwa informasi tersebut telah dipahami. Jika komunikasi komunikatif maka dapat di pastikan tujuan komunikasi tercapai dengan baik.
2.9.1. Unsur-Unsur Komunikasi Yang Efektif
            Jika ingin komunikasi menjadi efektif maka unsur-unsur berikut perlu diperhatikan:
  1. Sumber (komunikator). Komunikator sebagai pengirim pesan hendaknya benar-benar siap dengan pesannya. Pesan dikemas dengan bahasa tulis atau bahasa lisan yang benar-benar bisa dipahami oleh penerima pesan.

  1. Pesan.
Isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi.
  1. Media atau saluran pengirim pesan. Media yang digunakan dalam mengirim pesan juga harusjelas dan tidak bias. Mengajarkan organ tubuh manusia bagi anak-anak sekolah dasar maka medianya harus jelas dengan menggunakan alat peraga torso manusia.
  2. Penerima pesan (komunikan atau receiver). Pihak penerima pesan juga harus siap menerima pesan. Dengan pengetahuannya atau pemahamannya maka komunikan harus fokus pada pesan yang akan diterima.
  3. Efek, yaitu apa yang terjadi setelah menerima pesan. Apakah dengan mudah komunikan merespon kembali pesan yang diterima, atau apakah ada perubahan sikap setelah melakukan komunikasi, atau apakah terjadi perubahan prilaku. Jika terjadi perubahan yang diharapkan oleh komunikator sebagai akibat dari komunikasi itu maka komunikasi akan menjadi sangat efektif.
2.9.2. Syarat-Syarat Komunikasi Yang Efektif
            Agar komunikasi menjadi efektif maka syarat –syarat berikut perlu diperhatikan yaitu, (1) menciptakan suasana yang saling menguntungkan, (2) menggunakan bahasa yang mudah dimengerti bila mungkin bahasa yang digunakan adalah bahasa yang setara (3) pesan yang disampaikan menggugah perhatian atau minat bagi pihak komunikan, (4) pesan yang disampaikan menggugah kepentingan komunikan yang dapat menguntungkan, (5) pesan yang disampaikan dapat menumbuhkan suatu penghargaan bagi pihak komunikan.
Berikut ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam komunikasi yang efektif:
  1. Harus diingat bahwa komunikasi adalah suatu proses. Komunikasi adalah sebuah proses karena merupakan kegiatan yang terus-menerus dalam sebuah proses. Jadi dalam proses tersebut ada yang mempengaruhi dan ada pula yang dipengaruhi.
  2. Komunikasi adalah sebuah sistem. Bahwa komunikasi merupakan sebuah sistem terdiri dari beberapa sub sistem. Ada komunikator dan ada komunikan dan ada saluran, ada media komunikasi. Manakala satu sub sistem terganggu akan yang lain juga terganggu.
  3. Bahwa komunikasi bersifat transaksi dan komunikasi. Yang dimaksud dengan interaksi adalah saling bertukar pesan. Seseorang berbicara dan yang mendengar pembicaraan itu memberikan reaksi atau komentar atas pesan yang disampaikan. Komunikasi itu sering berubah atau berlanjut menjadi transaksi yaitu melakukan perjanjian.
2.9.3. Cara-Cara Melakukan Komunikasi Yang Efektif
 Agar komunikasi yang kita lakukan menjadi efektif maka perlu memperhatikan cara berikut:
  1. Menguasai ragam komunikasi. Komunikasi itu banyak ragamnya. Berkomunikasi dengan bahasa lisan, atau bisa pula berkomunikasi dengan bahasa tulisan. Ada pula berkomunikasi dengan bahasa isyarat dengan menggunakan isyarat-isyarat tertentu atau sering disebut bahasa isyarat atau bahasa non verbal. Teknik yang dipakai tergantung pada dimana komunikasi itu dilakukan dan dengan siapa berkomunikasi. Jika menggunakan bahasa verbal maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah, (1) kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi dapat dimengerti. (2) kecepatan (speed) dapat diatur dengan tepat artinya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat., (3) intonasi suara, dalam pengucapan dan pengejaan kata harus jelas dengan kata dan intonasi yang benar dan tepat, (4) volume suara, dapat diatur dengan baik tidak terlalu keras dan tidak terlalu kecil, tergantung pada komunikan. (5) singkat dan jelas. Komunikasi akan efektif bila pesan yang disampaikan jelas dan singkat. (6) timing (waktu yang tepat) artinya menyediakan waktu untuk mendengar atau memperhatikan apa yan didengar apa yang disampaikan. Bila menggunakan bahasa tubuh atau bahasa isyarat maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah ekspresi wajah, kontak mata, postur tubuh, dan gerak isyarat. Semua itu akan menggambarkan isi hati pengirim pesan atau penerima pesan. Apakah semua itu telah sesuai dengan apa yang dikemukakan secara lisan.
  2. Bersikap empati sebagaimana disebutkan d depan bahwa empati adalah memposisikan diri dalam situasi yang di alami dan sekaligus memahami apa yang di rasakan oeh komunikan.
  3. Pleksibel anda tidak harus kaku dan serius dengan gaya yang pormal. Komunikasi itu perlu sisipan informal dengan humor agar santai.
  4. Lugas dan ringkas. Gunakan kalimat yang to the point dan ringkas. Dan sedapat mungkin dengan kata atau kalimat pendek tetapi tidak mengurangi makna atau maksud. Pemakaian kata atau kalimat yang bertele tele menjadi membosankan
  5. Memahami bahasa non verbal yang tepat. Anda perlu memahami gesture tubuh dari komunikan. Terkadang, bahasa tubuh lebih bermakna dari bahasa verbal karena sulit di manipulasi.
  6. Menjadi pendengar yang baik. Apakah anda menyimak dengan baik ketika rekan ada yg berbicara ? pastikan ada bisa melakukan hal tersebut. Artinya jika ada seorang yang mendengar kita harus mendengarkan dengan baik agar kita bisa member respon yang tepat sesuai dengan harapan lawan bicara kita.
  7. Konsisten . konsisten mempunyai makna kesesuaian. Dalam konteks komunikasi maka komunikator tidak dengan mudah memindahkan topic-topic pembicaraan kepada komunikan sehingga komunikasi menjadi bingung.
  8. Egaliter . artinya tidak membuat sekat antara komunikator dengan komunikan . jika ini terasa  maka hubungan baik akan terhapus.
  9. Terbuka. Dalam artinya bersedia dikoreksi jika ada kekeliruan dan meminta maaf jika salah. Sikap seperti ini turut mendukung komunikasi
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
            Komunikasi antar pribadi dapat didefinisikan sebagai proses hubungan yang tercipta, tumbuh dan berkembang antara individu yang satu (sebagai komunikator) dengan individu lain (sebagai komunikan) dengan gayanya sendiri menyampaikan pesan kepada yang lain (komunikan), sedangkan yang satu (komunikan) dengan gayanya sendiri menerima pesan dari sumber (komunikator). Dengan gaya, kedinamisan, kesadaran dan hubungan yang akrab dari masing-masing pihak maka komunikasi itu terus tumbuh dan berkembang hingga dicapai persepsi dan tujuan bersama. Dalam hal ini komunikasi antar pribadi lebih menekankan hubungan antar pribadi sehingga komunikasi antar pribadi yang terjadi menjadi lebih efektif.
3.2 Saran
            Kami menyarankan kepada para pendidik khususnya seorang konselor hendaknya lebih menekankan terjadinya komunikasi antar pribadi yang efektif  dengan konseli sehingga dalam memberikan layanan kepada konseli menjadi lebih efektif agar tercapai tujuan bersama dan tidak menimbulkan adanya miss comunication.

TEKNIK BIBLIOTERAPI DALAM PELAYANAN BIMBINGAN KONSELING


BAB I
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Pada zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, stres, dan depresi. Apabila tidak segera ditangani akan membebani konseli sehingga memiliki beban pikiran yang dapat mengganggu aktifitas konseli. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dan banyaknya masalah – masalah yang terjadi di masyarakat, para ahli membuat model – model terapi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi konseli seperti tekhnik biblio terapi ini. Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental utama saat ini, yang mendapat perhatian serius. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti depresi akan menjadi salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyebab kedua tersbesar kematian setelah serangan jantung.
Terapi alternatif yang dikembangkan para dokter keluarga di Kirklees, West Yorkshire, ini akan mempertemukan penderita depresi dengan “biblioterapis” dari perpustakaan setempat. Biblioterapis ini selanjutnya akan memeriksa koleksi buku di perpustakaan guna menemukan buku yang sekiranya sesuai untuk pasien tertentu. Diharapkan dengan buku yang sesuai pasien akan mendapatkan inspirasi dan menjadi lebih bersemangat. Buku merupakan media untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, dan stres.
Biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Di atas gedung Perpustakaan Thebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan dibawahnya ada manuskrip berbunyi tempat penyembuhan jiwa (the healing place of the soul). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat dilepaskan dari Plato. Menurutnya, orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti buku atau bahan bacaan, sementara therapeia artinya penyembuhaan. Jadi, biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
Secara medis, pemikiran Plato diteruskan oleh Rush dan Galt pada 1815-1853. Lewat percobaan - percobaan medis, keduanya berkesimpulan bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses konseling, terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan menyarankan wawasan mendalam (insight). Para dokter di Inggris membangun kerjasama dengan para pustakawan untuk pengembangan model terapi ini. Perkembangan biblioterapi berjalan pesat setelah Perang Dunia I. Rumah sakit mendirikan perpustakaan untuk mengembalikan kondisi psikis para tentara yang cacat akibat perang. American Library Association (ALA) melaporkan metode ini telah membantu 3.981 tentara untuk menerima kondisi yang dialaminya.
Sebagian besar dari kita sebenarnya telah menerapkan terapi membaca. Biblioterapi sering kita gunakan untuk pencarian jati diri melalui dunia yang ada dalam halaman-halaman buku yang baik. Kita merasa terlibat dalam karakter tokoh utama yang ada di sana. Acapkali kita sering menutup sampul sembari tersenyum setelah mendapatkan inspirasi dan ide baru dari buku. Itulah tujuan dari biblioterapi, yaitu mendampingi seseorang yang tengah mengalami emosional yang berkecamuk karena permasalahan yang dia hadapi dengan menyediakan bahan-bahan bacaan dengan topik yang tepat. Kisah dalam buku akan membantu mereka untuk menyelami hidupnya sehingga mampu memutuskan jalan keluar yang paling mungkin bisa diambil.
Dalam memilih strategi, konselor hendaknya mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan , misalnya:  ciri klien, jenis masalah, dan harapan konseli dalam konseling. Salah satu strategi yang menjadi alternatif pilihan  konseling adalah biblioterapi yang menggunakan bahan pustaka. Biblioterapi yang sudah dirancang oleh konselor dengan mempertimbangkan tujuan, ciri konseli, material, sasaran, metode, dan evaluasi akan membantu konseli memperoleh informasi tentang masalah – masalah yang dihadapinya. Perolehan informasi tersebut dapat mengubah tingkah laku apabila konseli benar – benar mematuhinya.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah dari Biblioterapi?
2.      Apakah pengertian dari Biblioterapi?
3.      Bagaimanakah tingkat intervensi dari Biblioterapi?
4.      Bagaimanakah cara pelaksanaan/ tahapan dari Biblioterapi?
5.      Apa sajakah jenis kasus yang ditangani melalui teknik Biblioterapi?
6.      Bagaimanakah aplikasi dari Biblioterapi?
7.      Bagaimankah kelemahan dan kekuatan dari teknik Biblioterapi?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah dari Biblioterapi.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari Biblioterapi.
3.      Untuk mengetahui tingkat intervensi dari Biblioterapi.
4.      Untuk mengetahui cara pelaksanaan/ tahapan dari Biblioterapi.
5.      Untuk mengetahui jenis kasus yang ditangani melalui teknik Biblioterapi.
6.      Untuk mengetahui aplikasi dari Biblioterapi.
7.      Untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dari teknik Biblioterapi.
1.4  Manfaat Penulisan
1.      Memberikan pemahaman yang lebih dalam terkait dengan Biblioterapi.
2.      Memberi masukan bagi mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah terkait.
3.      Sebagai acuan dalam penyusunan makalah selajutnya.
 

BAB II
Pembahasan
2.1 Sejarah Biblioterapi
bibliotherapy2
            Selama berabadabad, buku telah digunakan sebagai sumberdaya untuk membantu orang mengatasi masalahnya. Sebagai contoh, pada masa Thebes **) kuno, perpustakaan digambarkan sebagai “The Healing Place of The Soul”, tempat penyembuhan jiwa. Masyarakat Thebes kuno menghargai buku sebagai  sebuah  sumber  untuk  meningkatkan  kualitas  kehidupan.  Schrank  dan  Engels  (1981) menyatakan bahwa praktik bibliotherapi dapat telusuri sampai masa Thebes kuno dan kemudian digunakan sebagai sumber bantuan untuk pengajaran dan penyembuhan.
            Beberapa buku sekolah permulaan di Amerika seperti New England Primer dan Mc Guffy Readers digunakan  tidak  hanya  untuk  tujuan  mengajar  anakanak  namun  juga  membantu  mereka mengembangkan karakter dan nilai (value) positif, dan untuk meningkatkan penyesuaian pribadi (Spache, 1974). Para pendidik saat ini, termasuk banyak klinisi, menyadari bahwa dapat memainkan peran positif dalam membantu orang mengatasi masalah penyesuaian pribadi, termasuk masalah kehidupan seharihari.
            Bibliotherapy  baru  belakangan  ini  mendapat  pengakuan  sebagai  sebuah  pendekatan  treatment. Perkembangan ini terjadi pada sekitar awal abad 20. Dua orang pendukung awal bibliotherapy pada abad  20  adalah  Dr.  Karl  dan  Dr.  William  Menninger.  Sejumlah  artikel  muncul  dalam  literatur profesional pada tahun 1940an; artikelartikel ini seringkali memfokuskan pada validitas psikologis dari  teknik  treatmen  baru  ini  (biliotherapy)  (Bernstein,  1983).  Selama  tahun  1950an  beberapa pemikiran yang berkaitan dengan bibliotherapy dibuat oleh Shrodes (1949), yang menguji status seni ini  yang  sangat  mempengaruhi  pandangan  filosoif.  Definisi  awal  dari  Shrodes  (1949)  tentang bibliotherapy  “as  a  process  of  dynamic  interaction  between  the  personality  of  the  reader  and literature under the guidance of a trained helper” (proses dari intraksi dinamis antara kepribadian pembaca  dengan  literatur  yang  mendasari  bimbingan  dari  helper  terlatih)  terus  mempengaruhi lapangan ini pada masa sekarang. Pada masa kini, Pardeck dan Pardeck (1989) berpendapat bahwa bibliotherapy tidak harus merupakan proses yang perlu diarahkan oleh terapis terlatih. Sebagaimana kemudian dinyatakan dalam bukunya, bibliotherapy dapat dilakukan oleh individu yang tidak dilatih sebagai terapis. Sebagai  contoh, orangtua atau guru dapat  berhasil menggunakan bibliotherapy untuk  membantu  anak  mengatasi  masalah  yang  berhubungan  dengan  perkembangan  dan penyesuaian pribadi.
            Pada  tahun  1960an,  Hannigan  dan  Henderson  (1963)  melakukan  penelitian  ekstensif  tentang dampak bibliotherapy terhadap kedekatan remaja penyalahguna obatobatan dengan pembebasan bersyarat.  Penelitian  mereka  terdiri  atas  beberapa  upaya  awal  untuk  menguji  keefektifan bibliotherapy sebagai alat treatment. Sejak tahun 1960an, telah dilakukan sejumlah studi tentang keefektifan bibliotherapy dalam membantu orang mengatasi masalah emosional dan penyesuaian.
            Walaupun ditemukan bahwa bibliotherapy merupakan alat klinis yang efektif, namun kritik terhadap bibliotherapy terus meningkat (Craighead, Mc Namara, & Horan, 1984).
2.2  Pengertian Biblioterapi
Biblioterapi adalah program membaca terarah yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman pasien dengan dirinya sendiri dan untuk memperluas cakrawala budayanya serta memberikan beranekaragam pengalaman emosionalnya. Bacaan – bacaan seperti itu biasanya diarahkan secara umum oleh terapis. Terapi dengan membaca ini utamanya digunakan untuk menyembuhkan penderita stres, depresi dan kegelisahan (anxiety). Terapi ini menggunakan ruangan di perpustakaan dengan berbagai macam buku yang sifatnya memberi motivasi kepada pasien.
Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan permasalahannya secara verbal.
2.3 Tingkat Intervensi Biblioterapi
            Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
            Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
            Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
            Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
            Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
2.4 Cara Pelaksanaan/ Tahapan Biblioterapi
Cara kerjanya adalah dengan berbincang dengan pasien, lalu menawarkan buku yang tepat baginya. Di Inggris, ahli medis dan pustakawan telah menjalin kerjasama dalam suatu tim guna merancang suatu program terapi baru menawarkan bacaan (khususnya novel) bagi pasien dengan beragam keluhan.
Dalam penerapan biblioterapi konseli sebaiknya melewati tiga tahapan berikut ini:
a.       Identifikasi, konseli mengidentifikasi dirinya dengan karakter dan peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata atau fiksi. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat maka konseli akan mendapatkan karakter yang mirip atau mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya.
b.      Katarsis, konseli menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan menyalurkan emosi-emosi yang terpendam dalam dirinya secara aman (seringnya melalui diskusi atau karya seni).
c.       Wawasan Mendalam (insight), setelah katarsis konseli (dengan bantuan pembimbing) menjadi sadar bahwa permasalahannya bisa disalurkan atau dicarikan jalan keluarnya. Permasalahan konseli mungkin saja dia temukan dalam karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikannya dia bisa mempertimbangkan langkah-langkah yang ada dalam cerita buku.
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan biblioterapi, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok:
a.       awali dengan motivasi. konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan konselingi.
b.      berikan waktu yang cukup. konselor mengajak peserta untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
c.       Lakukan inkubasi. konselor memberikan waktu pada peserta untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca.
d.      Tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Lewat diskusi peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu peserta untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
e.       Evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Hal ini memancing peserta untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti peengalaman yang dialami.
2.5 Kasus Yang Ditangani Melalui Teknik Biblioterapi
Elizabeth Hurlock mengemukakan bahwa penyebab masalah yang dihadapi oleh konseli terbagi atas dua penyebab, yaitu :  pertama, penyebab yang mempengaruhi, dan kedua ; penyebab yang menggerakkan. Kekuatan penyebab pertama menjadukan penyebab kedua mendorong konseli untuk menuju pada kenakalan. Jenis atau tingkat masalah yang dapat diselesaikan dengan tekhnik biblioterapi adalah :
a.       Masalah keseharian,
b.      Masalah pendidikan,
c.       Masalah pekerjaan,
d.      Masalah kesehatan,
e.       Masalah sosial.
Wujud masalah tersebut seperti tidak tahu cara belajar yang efektif, sulit menghilangkan rasa malu, tidak mampu bersikap asertif, kurang percaya diri, sulitmenurunkan berat badan, menghilangkan kebiasaan merokok atau ketergantungan pada alkohol. 
2.6  Aplikasi biblioterapi
a.       Identifikasi kebutuhan-kebutuhan konseli. Tugas ini dilakukan melalui pengamatan, berbincang dengan orangtua, penugasan untuk menulis, dan pandangan dari sekolah atau fasilitas-fasilitas yang berisi rekam hidup konseli.
b.      Sesuaikan konseli dengan bahan-bahan bacaan yang tepat. Carilah buku yang berhubungan dengan perceraian, kematian keluarga, atau apapun yang dibutuhkan yang telah diidentifikasi. Jagalah hal-hal ini dalam ingatan:
Ø  Buku harus sesuai dengan tingkat kemampuan baca konseli.
Ø  Tulisan harus menarik dan melatih klien untuk lebih dewasa.
Ø  Tema bacaan seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari konseli.
Ø  Karakteristik seharus dapat dipercaya dan mampu memunculkan rasa empati.
Ø  Alur kisah seharusnya realistis dan melibatkan kreativitas untuk menyelesaian masalah.
c.       Putuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana sesi diperkenalkan pada konseli.
d.      Rancanglah aktivitas-aktivitas tindak lanjut setelah membaca, seperti diskusi, menulis makalah, menggambar, dan drama.
e.       Motivasi konseli dengan aktivitas pengenalan seperti mengajukan pertanyaan untuk menuju ke pembahasan tentang tema yang dibicarakan.
f.       Libatkan konseli dalam fase membaca, berkomentar atau mendengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan mulaialah berdiskusi kecil tentang bacaan. Secara berkala, simpulkan apa yang terjadi secara panjang lebar.
g.      Berilah waktu jeda beberapa menit agar klien bisa merefleksikan materi bacaannya.
Kenalkan aktivitas tindak lanjut:
Ø  Menceritakan kembali kisah yang dibaca
Ø  Diskusi mendalam tentang buku, misalnya diskusi tentang benar dan salah, moral, hukum, letak kekuatan dan kelemahan dari karakter utama dan lain-lain.
Ø  Aktivitas seni seperti menggambar ilustasi persitiwa kisah, membuat kolase dari foto majalah dan berita utama untuk mengilustrasikan peristiwa-peristiwa dalam kisah, melukis gambar peristiwa).
Ø  Menulis kreatif, seperti menyelesaikan kisah dalam cara yang berbeda, mengkaji keputusan dari karakter.
Ø  Drama, seperti bermain peran, merekonstruksi kisah dengan wayang yang dibuat selama aktivitas seni, yang menjadi coba-coba dalam karakter.
h.      Dampingi konseli untuk meraih penutupan melalui diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
2.7 Analisis SWOT Biblioterapi
a.       Kekuatan tekhnik
            Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf kedalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional.
Ø  Pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
Ø  Pada tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
Ø  Pada  tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Ø  Pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
b.    Kelemahan tekhnik
            Meskipun biblioterapi mendorong perubahan secara individual, hal ini hanya digunakan terbatas pada saat di mana krisis hadir. Bagaimanapun itu bukan obat yang menghilangkan semua masalah psikologis yang telah mengakar secara mendalam. Masalah-masalah mendalam yang terbaik dilayani melalui intervensi terapi lebih intensif. Konseli usia anak-anak mungkin belum bisa melihat diri lewat cermin sastra dan literatur  pun bisa sebatas untuk tujuan melarikan diri saja. Lainnya mungkin cenderung untuk merasionalisasi masalah mereka daripada yang mereka hadapi. Namun orang lain mungkin tidak dapat mentransfer wawasan ke dalam kehidupan nyata. Namun, pengalaman ini mengganti dengan karakter sastra terbukti membantu banyak konseli.
c. Peluang
Peluang yang dapat diperoleh atau yang kemungkinan akan terjadi pada konseli yang diberikan teknik konseling melalui Biblioterapi adalah, seorang konseli akan bisa lebih memperoleh pemahaman akan dirinya terkait dengan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi konseli menjadi lebih mandiri untuk mencari dan menemukan jalan keluar dari masalah tersebut.
d. Ancaman
            Ancaman yang dapat terjadi pada konseli yang diberikan teknik biblioterapi tersebut adalah adanya kemungkinan tidak terfokusnya isi buku dengan masalah yang dihadapi oleh konseli, sehingga hal ini menyebabkan konseli mengalami kebingungan dan dapat menambah masalah baru lagi pada dirinya.


BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya semua tekhnik dalam Bimbingan dan Konseling kegunaannya adalah sama untuk menyelesaikan masalah konseli itu sendiri. Tapi, untuk menyelesaikan masalah itu tidak secara tiba – tiba menggunakan teknik yang ada tetapi masalah konseli harus diidentifikasi dulu agar konselor bisa menggunakan teknik yang sesuai dengan masalah konseli.  Dengan demikian, konselor haruslah memahami betul teknik – teknik agar menjadikan konselor yang berwawasan luas dan profesional.Dengan mengetahui kegunaan buku sebagai media untuk terapi konseli itu sendiri yaitu dengan disebut biblio terapi.
3.2 Saran
            Kami menyarankan khususnya pada para konselor hendaknya dalam menangani masalah konseli agar lebih variatif dalam menggunakan teknik dan lebih banyak menguasai teknik salah satunya Teknik Biblioterapi guna proses konseling bisa berjalan efektif dan efisien sehingga masalah konseli bisa dipecahkan.