BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi ini terdapat berbagai dampak pada
masyarakat, baik yang positif maupun yang negatif. Dampak positif globalisasi
adalah perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga mempermudah
seseorang untuk memperoleh berbagai informasi yang tidak terbatas. Informasi
dapat berupa hiburan, pengetahuan dan teknologi, yang diperoleh dan berbagai
cara seperti : TV, Video, Film-Film, Internet dan sebagainya. Kemudahan
informasi memang memuaskan keinginan tahu kita serta dapat mengubah nilai dan
pola hidup seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap anaknya dan pola asuh
yang diterapkan dalam mendidik anak.
Sedangkan dampak negatif yang ditakuti adalah gaya
hidup “Barat”, yang sangat menonjolkan sifat individualistik dan bebas. Hal ini
dibuktikan dengan semakin banyak timbulnya masalah psikososial pada remaja
seperti penyalah gunaan narkotika dan obat terlarang, perilaku seks bebas dan
menyimpang, kriminalitas anak, perkelahian masal (tawuran), sehingga banyak
mengakibatkan kegagalan pendidikan, atau kegagalan dibidang lain. Dampak
negatif era globalisasi ini lebih cepat diadopsi oleh anak- anak sehingga
mereka sangat rentan terhadap pengaruh negatif globalisasi tersebut.
Bagaimana semua informasi dan pengaruh asing itu agar
tidak berdampak buruk? Sebagai orang tua tentu berharap mereka dapat menyaring
informasi apa yang berguna yang patut dicontoh dan apa yang dapat merugikan
yang harus dijauhinya. Kepandaian anak dan remaja dalam menyiasati hal tersebut
tentu tidak lepas dan peran orang tua dalam memberikan pola asuh dan pendidikan
yang tepat bagi anak- anaknya.
Anak merupakan masa depan keluarga bahkan bangsa oleh
sebab itu perlu dipersiapkan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas,
sehat, bermoral dan berguna bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Seharusnya
perlu dipersiapkan sejak dini agar mereka mendapatkan pola asuh yang benar saat
mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh yang baik menjadikan
anak berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan
hidup. Maka dari itu kami akan menyusun makalah yang berjudul “Pola Pengasuhan
Anak Dalam Keluarga”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dari pola pengasuhan anak dalam keluarga?
2. Apakah
dimensi utama pengasuhan anak?
3. Apa
sajakah gaya dari pola pengasuhan anak dalam keluarga?
4. Apa
sajakah macam-macam dari pola pengasuhan anak dalam keluarga secara umum?
5. Bagaimanakah
fungsi keluarga dalam menerapkan pola pengasuhan terhadap anak dalam keluarga?
6. Bagaimanakah
cara mengasuh anak dalam keluarga?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari pola pengasuhan anak dalam keluarga.
2. Untuk
mengetahui dimensi utama pengasuhan anak.
3. Untuk
mengetahui gaya dari pola pengasuhan anak dalam keluarga.
4. Untuk
mengetahui macam-macam dari pola pengasuhan anak dalam keluarga secara umum.
5. Untuk
mengetahui fungsi keluarga dalam menerapkan pola pengasuhan terhadap anak dalam
keluarga.
6. Untuk
mengetahui cara mengasuh anak dalam keluarga.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Memberikan
pemahaman yang lebih dalam terkait dengan pola pengasuhan anak dalam keluarga.
2. Memberikan
masukan bagi mahasiswa dan dosen
pengampu mata kuliah terkait.
3. Sebagai
acuan dalam menyusun makalah selanjutnya.
BAB II
Pembahasan
Pola Pengasuhan Anak Dalam Keluarga
2.1
Pengertian Dari Pola Pengasuhan Anak Dalam Keluarga
Pengertian pola pengasuhan anak dalam keluarga bisa ditelusuri dari pedoman yang
dikeluarkan oleh Tim Penggerak PKK Pusat (1995), yakni : usaha orang tua dalam
membina anak dan membimbing anak baik jiwa maupun raganya sejak lahir sampai
dewasa (18 tahun). Selain itu, yang dimaksud dengan pola pengasuhan adalah kegiatan
kompleks yang meliputi banyak perilaku spesifik yang bekerja sendiri atau
bersama yang memiliki dampak pada anak. Tujuan utama pola pengasuhan yang
normal adalah menciptakan kontrol. Meskipun tiap orang tua berbeda dalam cara
mengasuh anaknya, namun tujuan utama orang tua dalam mengasuh anak adalah sama
yaitu untuk mempengaruhi, mengajari dan mengontrol anak mereka.
2.2
Dimensi utama pengasuhan anak
Erikson yakni bahwa dua aspek pengasuhan secara khusus
penting selama anak usia prasekolah dan usia sekolah yaitu : a) pengasuhan
hangat, dan b) pengasuhan dengan melakukan kontrol (Shapper, 1994).
1.
Pengasuhan dengan hangat
Pengasuhan yang hangat mengarah
kepada sejumlah responsitivenes dan afeksi yang ditampilkan oleh orang tua
(Shapper, 1994). Orang tua yag diklarifikasikan dengan hangat dan responsif
sering tersenyum, pujian, sokongan anak, mereka berpikir sangat kritis ketika
anak bertingkah laku yang tidak sesuai. Sebaliknya, hostile, tingkah laku orang
tua yang banyak respon/tanpa memberikan respon/tanpa memberikan respon. Orang
tua ini cepat memberikan kritikan, menghukum, atau mengabaikan anak, mereka
biasanya bertindak dengan cara-cara yang dapat mengarahkan anak mengetahui bahwa
mereka adalah dinilai atau dicintai.
2.
Pengasuhan dengan kontrol
Pengasuhan dengan kontrol mengarah
kepada sejumlah peraturan atau supervisi orang tua terhadap anak mereka. Orang
tua yang memiliki kontrol membatasi kebebasan anak mereka untuk melakukan ekspresi
dengan menekankan banyak tuntutan dan secara aktif memonitor tingkah laku anak
mereka untuk memastikan anak mereka mematuhi aturan. Orang tua tidak melakukan
kontrol lebih banyak hukuman mereka membuat sedikit aturan dan mengizinkan anak
memperkembangkan kebebasan untuk mengikuti minat-minat mereka, ekspresi opini,
dan emosi, membuat keputusan tentang aktivitas mereka. Asumsi umum bahwa orang
tua mereka menjdi kurang memberi hukuman sebagai kematangan anak mereka. Jika
ada sesuatu, orang tua kelas menengah, secara nyata lebih mengontrol dari kelas
rendah sampai pertengahan usia remaja (McNally, 1984; Einsenberg& Harris
1991; Roberts,Block& Block,1984). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
pengasuhan yang hangat dan penuh afeksi memiliki kontriusi yang kuat untuk
perkembangan kognitif, sosial dan emosional yang sehat. Dengan cara mereview
beberapa atributes, bahwa karateristik anak dari orang tua yang hangat dan
merespon adalah:
a) Mereka
terlihat secara aman pada umur awal. Kelekatan yang aman adalah kontributor
penting untuk pertumbuhan rasa ingin tahu, kemampuan melakukan eksplorasi,
keterampilan menyelesaikan masalah dan relasi sosial positif dengan orang
dewasa dan sebayanya (Shapper, 1994).
b) Mereka
cenderung menjadi memiliki pasangan yang sama selama di sekolah dasar, sesuatu
yang membuat mantap atau kokoh kemajuan skolastik dan skor rata-rata atau tes
IQ mereka di atas rata-rata (Estrada, etal 1987).
c) Mereka
secara relatif memiliki altruistik, secara khusus ketika orang tua mereka
mengajarkan nilai altruistik dan mempraktekkan apa yang mereka ajarkan kepada
anak mereka.
d) Mereka
secara umum patuh, tanpa dipaksa berlangsung lama dengan beralasan dengan orang
tua dan sebaya mereka.
e) Mereka
cenderung memiliki harga diri yang tinggi dan keterampilan role taking kemudian
disiplin, mereka biasanya menerima tindakan orang tua mereka (Brody &
Shapper; 1982).
f) Mereka
puas dengan identitas gender mereka dan mungkin benar-benar menerima tipe
gender mereka.
g) Mereka
sering mengarahkan untuk menginternalisasikan norma lebih dari takut dari
hukuman sebagai suatu alasan untuk sesuai dengan aturan moral (Brody &
Shapper; 1982). Kehangatan dan afesinate adalah kemampuan penting secara jelas
dari pengasuhan yang efektif (Shapper, 1994;454). Maccoby (1980) mengatakan
bahwa pengasuhan yang hangat mengikat anak terhadap orang tua mereka dalam
cara-cara yang positif. Pelayan yang hangat membuat anak responsif dan lebih
mendorong anak untuk menerima bimbingan orang tua mereka (Maccoby, dalam
Shapper, 1984).
2.3 Gaya Dari Pola Pengasuhan Anak Dalam Keluarga.
Gaya pola pengasuhan
memiliki 2 elemen penting, yaitu : parental responsiveness (respons orang tua)
dan parental demandingness (tuntutan orang tua).
Parental Responsiveness (respons orang tua)
Respons orang tua adalah
orang tua yang secara sengaja dan mengatur dirinya sendiri untuk sejalan,
mendukung dan menghargai kepentingan dan tuntutan anaknya.
Parental demandingness (tuntutan orang tua)
Tuntutan orang tua adalah
orang tua menuntut anaknya untuk menjadi bagian dari keluarga dengan
pengawasan, penegakkan disiplin dan tidak segan memberi hukuman jika anaknya
tidak menuruti.
Selain respons dan
tuntutan, gaya pola pengasuhan juga ditentukan oleh faktor yang ketiga, yaitu
kontrol psikologis (menyalahkan, kurang menyayangi atau mempermalukan).
2.4 Macam-Macam Pola
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Secara Umum
Secara individual, orang
tua memiliki hubungan yang khas dengan anak namun para peneliti telah
mengidentifikasikan 3 macam pola asuh yang umum. Ketiga pola asuh ini telah
terbukti berhubungan dengan perilaku dan kepribadian anak. Pembagian 3 macam
pola asuh secara umum ini dinamakan : Authoritative, Authoritarian, dan
Permissive.
- Pola asuh
Authoritative/Demokrasi
Pola asuh ini ditandai
dengan orang tua yang memberikan kebebasan yang memadai pada anaknya tetapi
memiliki standar perilaku yang jelas. Mereka memberikan alasan yang jelas dan
mau mendengarkan anaknya tetapi juga tidak segan untuk menetapkan beberapa
perilaku dan tegas dalam menentukan batasan. Mereka cenderung memiliki hubungan
yang hangat dengan anaknya dan sensitive terhadap kebutuhan dan pandangan
anaknya. Mereka cepat tanggap memuji keberhasilan anaknya dan memiliki
kejelasan tentang apa yang mereka harapkan dan anaknya.
Pola asuh yang paling baik
adalah jenis Authoritative. Anak yang diasuh dengan pola ini tampak lebih
bahagia, mandiri dan mampu untuk mengatasi stress. Mereka juga cenderung lebih
disukai pada kelompok sebayanya, karena memiliki ketrampilan sosial dan
kepercayaan diri yang baik.
Selanjutnya, Baumrind
(dalam Cole and Cole, 1993) mengemukakan bahwa orang tua Authoritative/Demokrasi
mengambil peran dengan menuntut anak mereka berpengetahuan dan berketerampilan,
lebih mengontrol sumber-sumber dan memiliki kekuatan fisik untuk anak mereka.
Orang tua Authoritative/Demokrasi kurang suka menggunakan hukuman fisik dan
kurang menekankan kepada kepatuhan terhadap otoritas dibandingkan dengan orang
tua Authoritarian/Otoriter. Malahan orang tua ini berusaha untuk mengontrol
anak mereka terhadap aturan atau keputusan dengan memberi alasan kepada mereka.
Mereka berkeinginan mempertimbangkan pandangan mereka, meskipun tidak selalu
mereka menerimanya. Orang tua menetapkan standar yang tinggi untuk tingkah laku
anak dan mendorong anak menjadi individualis dan mandiri.
Baumrind (dalam Cole and
Cole, 1993) mengemukakan bahwa anak-anak dari orang tua Authoritative/Demokrasi
lebih memperlihatkan keyakinan diri, kontrol diri, dan keinginan untuk
melakukan eksplorasi dari pada anak yang dari orang tua Authoritarian/Otoriter
dan permisif. Menurut Baumrind perbedaan dihasilkan dari fakta bahwa orang tua Authoritative/Demokrasi
menetapkan standar yang tinggi untuk anak mereka, menjelaskan kepada anak
mengapa mereka dibei hadiah dan hukuman.
- Pola asuh
Authoritarian/Otoriter
Pola asuh ini cukup ketat
dengan apa yang mereka harapkan dan anaknya dan hukuman dan perilaku anak yang
kurang baik juga berat. Peraturan diterapkan secara kaku dan seringkali tidak
dijelaskan secara memadal dan kurang memahami serta mendengarkan kemamuan anaknya.
Penekanan pola asuh ini adalah ketaatan tanpa bertanya dan menghargai tingkat
kekuasaan. Disiplin pada rumah tangga ini cenderung kasar dan banyak hukuman.
Anak dan orang orang tua
yang Authoritarian cenderung untuk lebih penurut, taat perintah dan tidak
agresif, tetapi mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan kemampuan
mengontrol dirinya terhadap teman sebayanya. Hubungan dengan orang tua tidak
juga dekat. Pola asuh jenis ini terutama sulit untuk anak laki-laki, mereka
cenderung untuk lebih pemarah dan kehilangan minat pada sekolahnya lebih awal.
Anak dengan pola asuh ini jarang mendapat pujian dan orang tuanya sehingga pada
saat mereka tumbuh dewasa, mereka cenderung untuk melakukan sesuatu karena
adanya imbalan dan hukuman, bukan karena pertimbangan benar atau salah.
Selanjutnya, Baumrind
(dalam Cole and Cole, 1993) mengemukakan bahwa anak dari orang tua Authoritarian/Otoriter
cenderung kehilangan kompetensi sosial berinteraksi dengan orang lain. Mereka
cenderung menarik diri dari kontak sosial dan kurang memperlihatkan inisiatif.
Dalam suatu konflik moral mereka cenderung ke luar dirinya (kepada otoritas)
untuk memutuskan apa yang benar. Anak ini sering dikarateristikan sebagai
kurang spontanitas dan kurang rasa ingin tahu intelektual (Baumrind,1971;Hoffman,1970
dalam Cole and Cole, 1993).
- Pola asuh Permissive/Permisif
Orang tua pada kelompok
ini membiarkan anaknya untuk menampilkan dirinya dan tidak membuat aturan yang
jelas serta kejelasan tentang perilaku yang mereka harapkan. Mereka seringkali
menenima atau tidak peduli dengan perilaku yang buruk. Hubungan mereka dengan
anaknya adalah hangat dan menerima. Pada saat menetukan batasan, mereka mencoba
untuk memeberikan alasan kepada anaknya dan tidak menggunakan kekuasaan untuk
mencapai keinginan mereka.
Hasil pola asuh dan orang
tua permisif tidak sebaik hasil pola asuh anak dengan orang tua Authoritative.
Meskipun anak-anak ini terlihat bahagia tetapi mereka kurang dapat mengatasi
stress dan akan marah jika mereka tidak memperoleh apa yang mereka inginkan.
Anak-anak ini cenderung imatur. Mereka dapat menjadi agresif dan dominant pada
teman sebayanya dan cenderung tidak berorientasi pada hasil.
Selanjutnya, Baumrind
(dalam Cole and Cole, 1993) mengemukakan bahwa orang tua menerapkan pola pengasuhan
permisif kurang memberikan latihan dalam mengontrol tingkah laku anak mereka
bila dibandingkan dengan orang tua yang Authoritarian/Otoriter dan Authoritative/Demokrasi.
Mereka berpandangan bahwa anak mereka harus belajar bagaimana tingkah laku
melalui pengalaman mereka sendiri atau karena mereka tidak mau melakukan
kesalahan dalam menerapkan disiplin. Mereka memberi anak mereka banyak
kesempatan atau peluang untuk menetapkan scedule mereka sendiri dan sering
membicarakan dengan anak mereka tentang kebijakan keluarga. Orang tua tipe ini
tidak memberikan tuntutan tingkah laku dan prestasi serta kematangan tingkah
laku seperti orang tua Authoritarian/Otoriter dan orang tua Authoritative/Demokrasi.
Menurut Baumrind (dalam Cole and Cole, 1993) anak dari orang tua permisif
secara relatif cenderung tidak matang, kesulitan mengontrol inpul-inpul mereka,
kesulitan mengontrol inpul-inpul mereka, kesulitan menerima tanggung jawab
untuk tindakan mereka dan bertindak secara mandiri.
Meskipun hasil penelitian
cukup jelas, tetapi perilaku manusia tidaklah hitam putih. Hampir semua orang
tua melakukan ketiga jenis pola asuh ini.
2.5 Fungsi Keluarga Dalam Menerapkan
Pola Pengasuhan Terhadap Anak Dalam Keluarga
Pola asuh di atas harus disesuaikan
dengan determinasi yang jelas antara hak dan kewajiban anak; tetapi terutama
hak anak. Hak anak yang dimaksud ialah bermain, belajar, kasih sayang, nama
baik, perlindungan, dan perhatian.
Berdasarkan
pendekatan sosio-kultural, dalam konteks bermasyarakat, keluarga memiliki fungsi
berikut :
1. Fungsi
Biologis. Tempat keluarga memenuhi kebutuhan seksual ( suami -
istri ) dan mendapatkan keturunan (anak); dan selanjutnya menjadi wahana di
mana keluarga menjamin kesempatan hidup bagi setiap anggotanya. Secara
biologis, keluarga menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu. Berkaitan
dengan fungsi ini, pola asuh anak di bidang kesehatan juga harus mendapat
perhatian para orangtua. Pola hidup sehat perlu diterapkan di dalam keluarga
yang bisa dilakukan dengan cara :
·
Memberitahukan pada anak untuk mengurangi konsumsi
makanan instan atau cepat saji. mengapa hal ini penting ? Kita tahu, bahwa di
dalam makanan instan terdapat zat pengawet yang jika dikonsumsi secara
berlebihan akan membahayakan bagi kesehatan,
·
Memberitahukan pada anak untuk berolah raga secara
rutin.
·
Menyediakan sayuran dan buah bagi anak untuk
dikonsumsi.
·
Memberitahukan pada anak untuk memperbanyak minum air
putih.
2. Fungsi
Pendidikan. Keluarga diajak untuk mengkondisikan kehidupan
keluarga sebagai “institusi” pendidikan, sehingga terdapat proses saling
belajar di antara anggota keluarga. Dalam situasi ini orangtua menjadi pemegang
peran utama dalam proses pembelajaran anak-anaknya, terutama di kala mereka
belum dewasa. Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan dan
pendampingan, dan teladan nyata. Dalam bidang pergaulan pun, anak tetap
dikontrol. Sebagian peserta mengungkapkan bahwa mereka biasa mengontrol melalui
teman si anak, serta menghubungi ibu/bapak guru melalui HP. Di samping itu,
setalah anak pulang sekolah, para peserta juga memeriksa tas sekolah anak,
kalau-kalau si anak membawa sesuatu yang tidak wajar. Adapun suka-duka para
peserta dalam mendidik anak sangat bervariasi. Sebagian peserta menyatakan
sangat senang bila anak-anak mereka menurut terhadap apa yang mereka sarankan.
Namun di sisi lain, peserta merasa sedih bila si anak terkadang membantah
perkataan mereka, ngambek tidak mau belajar, salah pergaulan dan sebagainya.
3. Fungsi
Religius. Para orangtua dituntut untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan
melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenal kaidah-kaidah agama dan
perilaku keagamaan. Di sini para orangtua diharuskan menjadi tokoh inti dan
panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan
keluarganya. Berkatian dengan pola asuh anak di bidang agama, banyak
orangtua sepakat bahwa agama adalah solusi terakhir dan tertinggi bagi setiap
persoalan hidup anak-anak mereka. Masalahnya justru terletak pada
tantangan yang mereka hadapi dalam mensosialisasikan ajaran agama dimaksud.
Hari-hari ini ada fenomena bahwa agama seakan-akan tidak lagi menarik perhatian
anak-anak. Pesan moral dari kisah-kisah yang mempesona dari kitab-kitab suci
tidak lagi sampai kepada anak-anak di jaman ini. Memang sih hal ini erat
terkait dengan mandegnya progressivitas pihak agama dalam mencari pola-pola
pengajaran terkini. Maka tidak mengherankan bila sebagian besar orangtua sangat
sulit mengajak anak-anaknya untuk beribadah. Banyak anak justru tidak
merasa nyaman di gereja atau tempat ibadah agamanya. Di titik ini para
orangtua harus menyadari fungsi mereka sebagai teladan atau pemberi
contoh terlebih dahulu. Bagaimana anak akan menurut pada ajakan orangtua bila
si orangtua sendiri tidak menjalankannya.
4. Fungsi
Perlindungan. Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk
menjaga dan memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif
yang mungkin timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan
keluarga. Selama ini dalam mendidik anak, banyak orangtua mendidik
anak-anak mereka dengan sabar dan telaten, agar anak menurut sesuai dengan yang
diinginkan. Namun tidak jarang pula mereka menggunakan cara-cara yang sedikit
otoriter, agar anak tidak bandel dan menurut apa yang kita
perintah. Fungsi perlindungan juga menyangkut pola asuh orangtua di bidang
kesehatan. Pola ini bisa dicermati dari kegiatan keseharian anak, antara lain :
- Selama
ini ketika anak pulang dari sekolah langsung pulang ke rumah atau bermain
dulu di tempat temannya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan apakah anak
tersebut sudah makan siang atau belum. Artinya kontrol terhadap pola makan
anak dijalankan dengan baik. Apabila anak pulang sampai sore atau malam hari
maka orangtua perlu menanyakan kemana saja seharian anak tersebut.
- Selama
ini ketika anak pulang dari sekolah, apakah langsung membantu orangtua
atau bermain. Hal ini ditinjau dari pandangan orangtua jelas tentunya
lebih senang ketika anak langsung membantu orangtua dalam hal pekerjaan di
dalam rumah. Lalu bagaimana bila ternyata anak membantu orangtua dalam
arti ikut bekerja mencari uang ? Tentunya hal ini sebaiknya belum boleh
dilakukan oleh anak, mengingat anak masih tumbuh dan berkembang dan mempunyai
hak untuk menikmati dunia bermainnya. Bisa dibayangkan betapa anak
nantinya akan terbebani ketika harus memikirkan pelajaran di sekolah,
namun di sisi yang lain masih harus bekerja mencari uang. Sudah menjadi
kewajiban orangtualah untuk membiayai segala macam keperluan anak
sehari-hari termasuk pula dalam hal biaya sekolah.
- Anak
dipastikan mandi sehari dua kali. Dalam hal ini orangtua senantiasa
mengontrol apakah anak sudah mandi atau belum.
- Asupan
gizi yang dikonsumsi anak juga harus diperhatikan. Apabila anak setiap
hari diberi lauk daging, tentunya tidak bagus. Akan lebih baik bila
diimbangi dengan sayur, buah dan susu. Dalam arti makanan yang dikonsumsi
sehari-hari memenuhi 4 sehat 5 sempurna. Sesekali anak diberi lauk ikan,
telur, tempe, tahu dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar terdapat variasi
menu makanan anak agar anak tidak bosan.
5. Fungsi
Sosialisasi. Para orangtua dituntut untuk mempersiapkan anak
untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, kalau tidak mau disebut warga
negara kelas satu. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai
penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma
sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga
pada gilirannya anak berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap
lingkungannya.
6. Fungsi Kasih
Sayang. Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi
lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan
status dan peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan
batin yang dalam dan kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota
keluarga sebagai bentuk kasih sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan,
keakraban, kerjasama dalam menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.
7. Fungsi
Ekonomis. Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan
kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian
nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun
pengeluaran biaya keluarga.
8. Fungsi
Rekreatif. Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota
keluarga lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai,
jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan
bebas dari kesibukan sehari-hari.
9. Fungsi
Status Keluarga. Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah
menjalankan fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar
kedudukan (status) keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya. Dalam
mengembangkan anak untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas
diperlukan persiapan dan perlakuan terhadap anak secara tepat sesuai dengan
kondisi anak. Sebagai manusia, setiap anak mempunyai ciri individual yang
berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu setiap anak yang lahir di dunia
ini berhak hidup dan berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kondisi yang
dimilikinya. Untuk dapat memberi kesempatan berkembang bagi setiap anak
diperlukan pola asuh yang tepat dari orangtuanya, hal ini mengingat anak adalah
menjadi tanggung jawab orangtuanya baik secara fisik, psikis maupun sosial.
2.6
Cara Mengasuh Anak Dalam Keluarga
Mengasuh anak adalah
proses mendidik agar kepribadian anak dapat berkembang dengan baik dan ketika
dewasa menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Mengasuh anak bukanlah
dimulai saat anak dapat berkomunikasi dengan baik, tetapi dilakukan sendiri
mungkin (sejak lahir).
Cara mengasuh anak sebaiknya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak
yaitu :
a. Sejak lahir
sampai 1 tahun
Dalam kandungan, anak
hidup serba teratur, hangat, dan penuh penlindungan. Setelah dilahinkan, anak
sepenuhnya bengantung terutama pada ibu atau pengasuhnya. Pada masa ini anak
perlu dibantu untuk mempertahankan hidupnya. Pencapaian pada tahap ini untuk
mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya. Bila nasa percaya tak didapat,
maka timbul rasa tak aman, rasa ketakutan dan kecemasan. Bayi belum bisa
bercakap-cakap untuk menyampaikan keingmnannya, ia menangis untuk menarik
perhatian orang. Tangisannya menunjukkan bahwa bayi membutuhkan bantuan. Ibu
harus belajar mengerti maksud tangisan bayi. Keadaan dimana saat bayi
membutuhkan bantuan, dan mendapat respon yang sesuai akan menimbulkan rasa
percaya dan aman pada bayi. ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi.
Dengan pemberian ASI seorang bayi akan didekap ke dada sehingga merasakan
kehangatan tubuh ibu dan terjalinlah hubungan kasih sayang antara bayi dan
ibunya. Segala hal yang dapat mengganggu proses menyusui dalam hubungan ibu
anak pada tahap ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan rasa percaya dan
rasa aman.
b. Usia 1 – 3
tahun
Pada tahap ini umumnya anak sudah dapat berjalan. Ia
mulai menyadari bahwa gerakan badannya dapat diatur sendiri, dikuasai dan
digunakannya untuk suatu maksud. Tahap ini merupakan tahap pembentukan
kepercayaan diri.
Pada tahap ini, akan
tertanam dalam diri anak perasaan otonomi diri, makan sendiri, pakai baju
sendiri dll. Orang tua hendaknya mendorong agar anak dapat bergerak bebas,
menghargai dan meyakini kemampuannya. Usahakan anak mau bermain dengan anak
yang lain untuk mengetahui aturan permainan. Hal ini jadi dasar terbentuknya
rasa yakin pada diri dan harga diri di kemudian hari.
c. Usia 3 – 6
tahun (prasekolah)
Tahap ini anak dapat
meningkatnya kemampuan berbahasa dan kemampuan untuk melakukan kegiatan yang
bertujuan, anak mulai memperhatikan dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya.
Anak bersifat ingin tahu,
banyak bertanya, dan meniru kegiatan sekitarnya, libatkan diri dalam kegiatan
bersama dan menunjukkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu tapi tidak
mementingkan hasilnya, mulai melihat adanya perbedaan jenis kelamin
kadang-kadang terpaku pada alat kelaminnya sendiri.
Pada tahap ini ayah punya
peran penting bagi anak. Anak laki-laki merasa lebih sayang pada ibunya dan anak
perempuan lebih sayang pada ayahnya. Melalui peristiwa ini anak dapat mengalami
perasaan sayang, benci, iri hati, bersaing, memiliki, dll. Ia dapat pula
mengalami perasaan takut dan cemas. Pada masa ini, kerjasama ayah-ibu amat
penting artinya.
d. Usia 6 – 12
tahun
Pada usia ini teman sangat
penting dan ketrampilan sosial mereka semakin berkembang. Hubungan mereka
menjadi lebih baik dalam berteman, mereka juga mudah untuk mendekati teman baru
dan menjaga hubungan pertemanan yang sudah ada.
Pada usia ini mereka juga
menyukai kegiatan kelompok dan petualangan, keadaan ini terjadi karena
terbentuknya identifikasi peran dan keberanian untuk mengambil risiko. Orang
tua perlu membimbing mereka agar mereka memahami kemampuan mereka yang
sebenarnya dan tidak melakukan tindakan yang berbahaya.
Anak pada usia ini mulai
tertarik dengan masalah seks dan bayi, sehingga orang tua perlu untuk
memberikan informasi yang dianggap sensitive ini secara
Dalam perkembangan keterampilan
mentalnya, mereka dapat mempertahankan ketertarikannya dalam waktu yang lama
dan kemampuan menulis mereka baik. Anak pada usia ini seringkali senang membaca
buku ilmu pengetahuan atau CD ROM. Mereka menikmati mencari dan menemukan
informasi yang menarik minat mereka.
Anak mulai melawan orang
tuanya, mereka menjadi suka berargumentasi dan tidak suka melakukan pekerjaan
rumah. Orang tua perlu secara bijaksana menjelaskann pada mereka tugas dan
tanggung jawabnya. Keberhasiln pada masa kanak akhir terlihat, jika mereka
dapat berkarya dan produktif dikemudian hari.
e. Usia 12 – 18
tahun
Masa remaja bervariasi
pada setiap anak, tapi pada umumnya berlangsung antara usia 11 sampai 18 tahun.
Di dalam masa remaja pembentukan identitas diri merupakan salah satu tugas
utama, sehingga saat masa remaja selesai sudah terbentuk identitas diri yang
mantap.
Pertanyaan yang sering
pada masa remaja saat pembentukan identitas diri adalah : siapakah saya?, serta
: kemanakah arah hidup saya? Jika masa remaja telah berakhir dan pertanyaan itu
tidak dapat dijawab dan diselesaikan dengan baik, dapat terjadi apa yang
dinamakan : krisis identitas, pada krisis identitas terjadi dapat menimbulkan
kebingungan/kekacauan identitas dirinya. Unsur-unsur yang memegang peran
penting dalam pembentukan identitas diri adalah : pembentukan suatu rasa
kemandirian, peran seksual, identifikasi gender, dan peran sosial serta
perilaku.
Berkembangnya masa remaja
terlihat saat Ia mulai mengambil berbagai macam nilai-nilai etik, baik dan
orang tua, remaja lain dan ia menggabungkannya menjadi suatu sistem nilai dan
dirinya sendiri.
Pada masa remaja, numah
merupakan landasan dasar (base), sedangkan ‘dunianya” adalah sekolah maka bagi
remaja hubungan yang paling penting selain dengan keluarganya adalah dengan
teman sebaya. Pengertian dari rumah sebagai landasan dasar adalah, anak dalam
kehidupan seahari-hani tampaknya ia seolah-olah sangat bergantung kepada teman
sebayanya, tapi sebenarnya Ia sangat membutuhkan dukungan dan orang tuanya yang
sekaligus harus berfungsi sebagai pelindung di saat ia mengalami krisis, baik
dalam dirinya atau karena faktor lain. Pada masa ini penting sekali sikap
keluarga yang dapat berempati, mengerti, mendukung, dan dapat bersikap
komunikatif dua anak dengan sang remaja dalam pembentukan identitas diri remaja
itu.
Dengan berakhirnya masa
remaja dan memasuki usia dewasa, terbentuklah dalam suatu identias diri.
Keberhasilan yang diperoleh atau kegagalan yang dialami dalam proses pencapaian
kemandirian merupakan pengaruh dari fase-fase perkembangan sebelumnya.
Kegagalan keluarga dalam memberikan bantuan/dukungan itu secara memadai, akan
berakibat dalam ketidak mampuan anak untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan
emosinya. Sedangkan keberhasilan keluarga dalam pembentukan remaja telah
mengambil nilai-nilai etik dari orang tua dan agama, ia mengambil nilai-nilai
apa yang terbaik bagi dia dan masyarakat pada umumnya. Jadi penting bagi orang
tua untuk memberi teladan yang baik bagi remaja, dan bukan hanya menuntut
remaja berperilaku baik, tapi orang tua sendiri tidak berbuat demikian.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dengan
apa yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa pola pengasuhan anak
dalam keluarga adalah usaha orang
tua dalam membina anak dan membimbing anak baik jiwa maupun raganya sejak lahir
sampai dewasa (18 tahun). Dalam hal ini dimensi utama pengasuhan
anak usia prasekolah dan usia sekolah yaitu : a) pengasuhan hangat, dan b)
pengasuhan dengan melakukan kontrol (Shapper, 1994). Selanjutnya, gaya pola pengasuhan
memiliki 2 elemen penting, yaitu : parental responsiveness (respons orang tua)
dan parental demandingness (tuntutan orang tua). Adapun macam-macam pola pengasuhan
anak dalam keluarga yaitu: pola demokrasi, pola otoriter, dan pola permisif.
Untuk menerapkan macam-macam dari pola pengasuhan tersebut ada beberapa fungsi
keluarga diantaranya: fungsi biologis, fungsi pendidikan, fungsi religius,
fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi, fungsi kasih sayang, fungsi ekonomi,
fungsi rekreatif dan fungsi status keluarga. Selain itu, cara mengasuh anak
dalam keluarga hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak yaitu sejak
lahir sampai 1 tahun,usia 1-3 tahun, usia 3-6 tahun (prasekolah),usia 6-12
tahun dan usia 12-18 tahun.
3.2
Saran
Kami menyarankan kepada
para orang tua agar lebih memperhatikan terkait dengan masalah pola asuh anak
dalam keluarga hal ini mungkin merupakan PR yang besar bagi semua orang tua
karena pada saat ini banyak terjadinya konflik-konflik serta kurangnya rasa
simpati dan empati dari anak dalam pergaulan tersebut disebabkan oleh pola asuh
anak dalam keluarganya.