Senin, 29 April 2013

TEKNIK BIBLIOTERAPI DALAM PELAYANAN BIMBINGAN KONSELING


BAB I
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Pada zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, stres, dan depresi. Apabila tidak segera ditangani akan membebani konseli sehingga memiliki beban pikiran yang dapat mengganggu aktifitas konseli. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dan banyaknya masalah – masalah yang terjadi di masyarakat, para ahli membuat model – model terapi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi konseli seperti tekhnik biblio terapi ini. Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental utama saat ini, yang mendapat perhatian serius. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti depresi akan menjadi salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyebab kedua tersbesar kematian setelah serangan jantung.
Terapi alternatif yang dikembangkan para dokter keluarga di Kirklees, West Yorkshire, ini akan mempertemukan penderita depresi dengan “biblioterapis” dari perpustakaan setempat. Biblioterapis ini selanjutnya akan memeriksa koleksi buku di perpustakaan guna menemukan buku yang sekiranya sesuai untuk pasien tertentu. Diharapkan dengan buku yang sesuai pasien akan mendapatkan inspirasi dan menjadi lebih bersemangat. Buku merupakan media untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, dan stres.
Biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Di atas gedung Perpustakaan Thebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan dibawahnya ada manuskrip berbunyi tempat penyembuhan jiwa (the healing place of the soul). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat dilepaskan dari Plato. Menurutnya, orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti buku atau bahan bacaan, sementara therapeia artinya penyembuhaan. Jadi, biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
Secara medis, pemikiran Plato diteruskan oleh Rush dan Galt pada 1815-1853. Lewat percobaan - percobaan medis, keduanya berkesimpulan bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses konseling, terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan menyarankan wawasan mendalam (insight). Para dokter di Inggris membangun kerjasama dengan para pustakawan untuk pengembangan model terapi ini. Perkembangan biblioterapi berjalan pesat setelah Perang Dunia I. Rumah sakit mendirikan perpustakaan untuk mengembalikan kondisi psikis para tentara yang cacat akibat perang. American Library Association (ALA) melaporkan metode ini telah membantu 3.981 tentara untuk menerima kondisi yang dialaminya.
Sebagian besar dari kita sebenarnya telah menerapkan terapi membaca. Biblioterapi sering kita gunakan untuk pencarian jati diri melalui dunia yang ada dalam halaman-halaman buku yang baik. Kita merasa terlibat dalam karakter tokoh utama yang ada di sana. Acapkali kita sering menutup sampul sembari tersenyum setelah mendapatkan inspirasi dan ide baru dari buku. Itulah tujuan dari biblioterapi, yaitu mendampingi seseorang yang tengah mengalami emosional yang berkecamuk karena permasalahan yang dia hadapi dengan menyediakan bahan-bahan bacaan dengan topik yang tepat. Kisah dalam buku akan membantu mereka untuk menyelami hidupnya sehingga mampu memutuskan jalan keluar yang paling mungkin bisa diambil.
Dalam memilih strategi, konselor hendaknya mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan , misalnya:  ciri klien, jenis masalah, dan harapan konseli dalam konseling. Salah satu strategi yang menjadi alternatif pilihan  konseling adalah biblioterapi yang menggunakan bahan pustaka. Biblioterapi yang sudah dirancang oleh konselor dengan mempertimbangkan tujuan, ciri konseli, material, sasaran, metode, dan evaluasi akan membantu konseli memperoleh informasi tentang masalah – masalah yang dihadapinya. Perolehan informasi tersebut dapat mengubah tingkah laku apabila konseli benar – benar mematuhinya.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah dari Biblioterapi?
2.      Apakah pengertian dari Biblioterapi?
3.      Bagaimanakah tingkat intervensi dari Biblioterapi?
4.      Bagaimanakah cara pelaksanaan/ tahapan dari Biblioterapi?
5.      Apa sajakah jenis kasus yang ditangani melalui teknik Biblioterapi?
6.      Bagaimanakah aplikasi dari Biblioterapi?
7.      Bagaimankah kelemahan dan kekuatan dari teknik Biblioterapi?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah dari Biblioterapi.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari Biblioterapi.
3.      Untuk mengetahui tingkat intervensi dari Biblioterapi.
4.      Untuk mengetahui cara pelaksanaan/ tahapan dari Biblioterapi.
5.      Untuk mengetahui jenis kasus yang ditangani melalui teknik Biblioterapi.
6.      Untuk mengetahui aplikasi dari Biblioterapi.
7.      Untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dari teknik Biblioterapi.
1.4  Manfaat Penulisan
1.      Memberikan pemahaman yang lebih dalam terkait dengan Biblioterapi.
2.      Memberi masukan bagi mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah terkait.
3.      Sebagai acuan dalam penyusunan makalah selajutnya.
 

BAB II
Pembahasan
2.1 Sejarah Biblioterapi
bibliotherapy2
            Selama berabadabad, buku telah digunakan sebagai sumberdaya untuk membantu orang mengatasi masalahnya. Sebagai contoh, pada masa Thebes **) kuno, perpustakaan digambarkan sebagai “The Healing Place of The Soul”, tempat penyembuhan jiwa. Masyarakat Thebes kuno menghargai buku sebagai  sebuah  sumber  untuk  meningkatkan  kualitas  kehidupan.  Schrank  dan  Engels  (1981) menyatakan bahwa praktik bibliotherapi dapat telusuri sampai masa Thebes kuno dan kemudian digunakan sebagai sumber bantuan untuk pengajaran dan penyembuhan.
            Beberapa buku sekolah permulaan di Amerika seperti New England Primer dan Mc Guffy Readers digunakan  tidak  hanya  untuk  tujuan  mengajar  anakanak  namun  juga  membantu  mereka mengembangkan karakter dan nilai (value) positif, dan untuk meningkatkan penyesuaian pribadi (Spache, 1974). Para pendidik saat ini, termasuk banyak klinisi, menyadari bahwa dapat memainkan peran positif dalam membantu orang mengatasi masalah penyesuaian pribadi, termasuk masalah kehidupan seharihari.
            Bibliotherapy  baru  belakangan  ini  mendapat  pengakuan  sebagai  sebuah  pendekatan  treatment. Perkembangan ini terjadi pada sekitar awal abad 20. Dua orang pendukung awal bibliotherapy pada abad  20  adalah  Dr.  Karl  dan  Dr.  William  Menninger.  Sejumlah  artikel  muncul  dalam  literatur profesional pada tahun 1940an; artikelartikel ini seringkali memfokuskan pada validitas psikologis dari  teknik  treatmen  baru  ini  (biliotherapy)  (Bernstein,  1983).  Selama  tahun  1950an  beberapa pemikiran yang berkaitan dengan bibliotherapy dibuat oleh Shrodes (1949), yang menguji status seni ini  yang  sangat  mempengaruhi  pandangan  filosoif.  Definisi  awal  dari  Shrodes  (1949)  tentang bibliotherapy  “as  a  process  of  dynamic  interaction  between  the  personality  of  the  reader  and literature under the guidance of a trained helper” (proses dari intraksi dinamis antara kepribadian pembaca  dengan  literatur  yang  mendasari  bimbingan  dari  helper  terlatih)  terus  mempengaruhi lapangan ini pada masa sekarang. Pada masa kini, Pardeck dan Pardeck (1989) berpendapat bahwa bibliotherapy tidak harus merupakan proses yang perlu diarahkan oleh terapis terlatih. Sebagaimana kemudian dinyatakan dalam bukunya, bibliotherapy dapat dilakukan oleh individu yang tidak dilatih sebagai terapis. Sebagai  contoh, orangtua atau guru dapat  berhasil menggunakan bibliotherapy untuk  membantu  anak  mengatasi  masalah  yang  berhubungan  dengan  perkembangan  dan penyesuaian pribadi.
            Pada  tahun  1960an,  Hannigan  dan  Henderson  (1963)  melakukan  penelitian  ekstensif  tentang dampak bibliotherapy terhadap kedekatan remaja penyalahguna obatobatan dengan pembebasan bersyarat.  Penelitian  mereka  terdiri  atas  beberapa  upaya  awal  untuk  menguji  keefektifan bibliotherapy sebagai alat treatment. Sejak tahun 1960an, telah dilakukan sejumlah studi tentang keefektifan bibliotherapy dalam membantu orang mengatasi masalah emosional dan penyesuaian.
            Walaupun ditemukan bahwa bibliotherapy merupakan alat klinis yang efektif, namun kritik terhadap bibliotherapy terus meningkat (Craighead, Mc Namara, & Horan, 1984).
2.2  Pengertian Biblioterapi
Biblioterapi adalah program membaca terarah yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman pasien dengan dirinya sendiri dan untuk memperluas cakrawala budayanya serta memberikan beranekaragam pengalaman emosionalnya. Bacaan – bacaan seperti itu biasanya diarahkan secara umum oleh terapis. Terapi dengan membaca ini utamanya digunakan untuk menyembuhkan penderita stres, depresi dan kegelisahan (anxiety). Terapi ini menggunakan ruangan di perpustakaan dengan berbagai macam buku yang sifatnya memberi motivasi kepada pasien.
Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan permasalahannya secara verbal.
2.3 Tingkat Intervensi Biblioterapi
            Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
            Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
            Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
            Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
            Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
2.4 Cara Pelaksanaan/ Tahapan Biblioterapi
Cara kerjanya adalah dengan berbincang dengan pasien, lalu menawarkan buku yang tepat baginya. Di Inggris, ahli medis dan pustakawan telah menjalin kerjasama dalam suatu tim guna merancang suatu program terapi baru menawarkan bacaan (khususnya novel) bagi pasien dengan beragam keluhan.
Dalam penerapan biblioterapi konseli sebaiknya melewati tiga tahapan berikut ini:
a.       Identifikasi, konseli mengidentifikasi dirinya dengan karakter dan peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata atau fiksi. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat maka konseli akan mendapatkan karakter yang mirip atau mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya.
b.      Katarsis, konseli menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan menyalurkan emosi-emosi yang terpendam dalam dirinya secara aman (seringnya melalui diskusi atau karya seni).
c.       Wawasan Mendalam (insight), setelah katarsis konseli (dengan bantuan pembimbing) menjadi sadar bahwa permasalahannya bisa disalurkan atau dicarikan jalan keluarnya. Permasalahan konseli mungkin saja dia temukan dalam karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikannya dia bisa mempertimbangkan langkah-langkah yang ada dalam cerita buku.
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan biblioterapi, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok:
a.       awali dengan motivasi. konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan konselingi.
b.      berikan waktu yang cukup. konselor mengajak peserta untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
c.       Lakukan inkubasi. konselor memberikan waktu pada peserta untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca.
d.      Tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Lewat diskusi peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu peserta untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
e.       Evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Hal ini memancing peserta untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti peengalaman yang dialami.
2.5 Kasus Yang Ditangani Melalui Teknik Biblioterapi
Elizabeth Hurlock mengemukakan bahwa penyebab masalah yang dihadapi oleh konseli terbagi atas dua penyebab, yaitu :  pertama, penyebab yang mempengaruhi, dan kedua ; penyebab yang menggerakkan. Kekuatan penyebab pertama menjadukan penyebab kedua mendorong konseli untuk menuju pada kenakalan. Jenis atau tingkat masalah yang dapat diselesaikan dengan tekhnik biblioterapi adalah :
a.       Masalah keseharian,
b.      Masalah pendidikan,
c.       Masalah pekerjaan,
d.      Masalah kesehatan,
e.       Masalah sosial.
Wujud masalah tersebut seperti tidak tahu cara belajar yang efektif, sulit menghilangkan rasa malu, tidak mampu bersikap asertif, kurang percaya diri, sulitmenurunkan berat badan, menghilangkan kebiasaan merokok atau ketergantungan pada alkohol. 
2.6  Aplikasi biblioterapi
a.       Identifikasi kebutuhan-kebutuhan konseli. Tugas ini dilakukan melalui pengamatan, berbincang dengan orangtua, penugasan untuk menulis, dan pandangan dari sekolah atau fasilitas-fasilitas yang berisi rekam hidup konseli.
b.      Sesuaikan konseli dengan bahan-bahan bacaan yang tepat. Carilah buku yang berhubungan dengan perceraian, kematian keluarga, atau apapun yang dibutuhkan yang telah diidentifikasi. Jagalah hal-hal ini dalam ingatan:
Ø  Buku harus sesuai dengan tingkat kemampuan baca konseli.
Ø  Tulisan harus menarik dan melatih klien untuk lebih dewasa.
Ø  Tema bacaan seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari konseli.
Ø  Karakteristik seharus dapat dipercaya dan mampu memunculkan rasa empati.
Ø  Alur kisah seharusnya realistis dan melibatkan kreativitas untuk menyelesaian masalah.
c.       Putuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana sesi diperkenalkan pada konseli.
d.      Rancanglah aktivitas-aktivitas tindak lanjut setelah membaca, seperti diskusi, menulis makalah, menggambar, dan drama.
e.       Motivasi konseli dengan aktivitas pengenalan seperti mengajukan pertanyaan untuk menuju ke pembahasan tentang tema yang dibicarakan.
f.       Libatkan konseli dalam fase membaca, berkomentar atau mendengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan mulaialah berdiskusi kecil tentang bacaan. Secara berkala, simpulkan apa yang terjadi secara panjang lebar.
g.      Berilah waktu jeda beberapa menit agar klien bisa merefleksikan materi bacaannya.
Kenalkan aktivitas tindak lanjut:
Ø  Menceritakan kembali kisah yang dibaca
Ø  Diskusi mendalam tentang buku, misalnya diskusi tentang benar dan salah, moral, hukum, letak kekuatan dan kelemahan dari karakter utama dan lain-lain.
Ø  Aktivitas seni seperti menggambar ilustasi persitiwa kisah, membuat kolase dari foto majalah dan berita utama untuk mengilustrasikan peristiwa-peristiwa dalam kisah, melukis gambar peristiwa).
Ø  Menulis kreatif, seperti menyelesaikan kisah dalam cara yang berbeda, mengkaji keputusan dari karakter.
Ø  Drama, seperti bermain peran, merekonstruksi kisah dengan wayang yang dibuat selama aktivitas seni, yang menjadi coba-coba dalam karakter.
h.      Dampingi konseli untuk meraih penutupan melalui diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
2.7 Analisis SWOT Biblioterapi
a.       Kekuatan tekhnik
            Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf kedalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional.
Ø  Pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
Ø  Pada tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
Ø  Pada  tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Ø  Pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
b.    Kelemahan tekhnik
            Meskipun biblioterapi mendorong perubahan secara individual, hal ini hanya digunakan terbatas pada saat di mana krisis hadir. Bagaimanapun itu bukan obat yang menghilangkan semua masalah psikologis yang telah mengakar secara mendalam. Masalah-masalah mendalam yang terbaik dilayani melalui intervensi terapi lebih intensif. Konseli usia anak-anak mungkin belum bisa melihat diri lewat cermin sastra dan literatur  pun bisa sebatas untuk tujuan melarikan diri saja. Lainnya mungkin cenderung untuk merasionalisasi masalah mereka daripada yang mereka hadapi. Namun orang lain mungkin tidak dapat mentransfer wawasan ke dalam kehidupan nyata. Namun, pengalaman ini mengganti dengan karakter sastra terbukti membantu banyak konseli.
c. Peluang
Peluang yang dapat diperoleh atau yang kemungkinan akan terjadi pada konseli yang diberikan teknik konseling melalui Biblioterapi adalah, seorang konseli akan bisa lebih memperoleh pemahaman akan dirinya terkait dengan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi konseli menjadi lebih mandiri untuk mencari dan menemukan jalan keluar dari masalah tersebut.
d. Ancaman
            Ancaman yang dapat terjadi pada konseli yang diberikan teknik biblioterapi tersebut adalah adanya kemungkinan tidak terfokusnya isi buku dengan masalah yang dihadapi oleh konseli, sehingga hal ini menyebabkan konseli mengalami kebingungan dan dapat menambah masalah baru lagi pada dirinya.


BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya semua tekhnik dalam Bimbingan dan Konseling kegunaannya adalah sama untuk menyelesaikan masalah konseli itu sendiri. Tapi, untuk menyelesaikan masalah itu tidak secara tiba – tiba menggunakan teknik yang ada tetapi masalah konseli harus diidentifikasi dulu agar konselor bisa menggunakan teknik yang sesuai dengan masalah konseli.  Dengan demikian, konselor haruslah memahami betul teknik – teknik agar menjadikan konselor yang berwawasan luas dan profesional.Dengan mengetahui kegunaan buku sebagai media untuk terapi konseli itu sendiri yaitu dengan disebut biblio terapi.
3.2 Saran
            Kami menyarankan khususnya pada para konselor hendaknya dalam menangani masalah konseli agar lebih variatif dalam menggunakan teknik dan lebih banyak menguasai teknik salah satunya Teknik Biblioterapi guna proses konseling bisa berjalan efektif dan efisien sehingga masalah konseli bisa dipecahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar